Monday, November 12, 2012

Hujan Sore Itu pun Mampu Melarutkan Batu

Masih samar kulihat, bulir hujan ini bagaikan percikan lahar merajam kulitku: panas membakar. Berpelukan dengan aspal yang perlahan mencair, tubuhku kaku, tak tahu lagi mana tangan mana kaki. Di seberang embun lensa minusku, sosok itu masih ada, sedang santai rupanya, seenaknya saja rebahan di jalan. Hahaha...lucu juga, baru sejam yang lalu orang itu memakiku karena bawa-bawa pylox. Namanya juga anak muda, kan wajar kalau jiwanya terusik gara-gara sekolah seberang corat-coret nama mereka di area kami.

Hei, kamu! Iya kamu Erik, sini bentar!” hardiknya waktu itu. “Ngapain bawa-bawa beginian segala? Lomba mural udah kelar, trus kamu juga gak usah khawatir ngebersihin cat tembok belakang. Diemin aja udah!” katanya sambil berusaha merebut pylox hijauku. Ya, hijau warna sekolahku.

Halah, guru baru kemaren aja udah belagu! Kaga usah sok ngatur deh!” balasku.

Kamu ngomong gitu lagi ke saya,... kantor Pak Parno,” ancamnya. Pak Parno adalah kepala sekolahku yang lemah lembut. Beliau tidak pernah menghardik siswanya secara kasar, selalu santun. Tapi entah mengapa sudah tujuh anak dikeluarkannya tahun ini.

Bodo amat!” jawabku sekenanya. Kulanjutkan langkahku penuh semangat. Penasaran juga, siapa sih yang berani mengibarkan bendera perang? Oh, Pak Tomi, si guru baru tadi tak berkomentar lebih lanjut, seketika itu juga bayangannya pun menguap.

Ternyata benar, kuning. Terlihat dengan jelas di tembok belakang sekolah kami, semprotan cat berwarna kuning pisang bertuliskan “YLW”, bukan dari kata “yellow” melainkan “Your Last Whish”. Entah apa maksud mereka dengan sebutan itu, bahasa Inggrisku di bawah standar. Yang jelas, mereka sudah berani menginvasi teritori kami. Segera saja kuhijaukan YLW itu, lalu sebelahnya kutulis CLP, singkatan dari Chlorophyll, mungkin karena hijau, mungkin para seniorku penyuka biologi, mungkin juga dulunya mereka penjual obat MLM. Beres sudah.

Kulanjutkan kemenanganku seorang diri. Serasa Bruce Willis yang sukses meledakkan mobil musuhnya di film Die Hard, langkahku mantap meninggalkan TKP. Sambil menyusuri jalan pinggir sawah yang aspalnya protes kepanasan, sesekali ku membayangkan mendapat pujian dari teman-teman karena telah mengkoreksi coretan tadi. Sesekali ku menengok ke belakang, sekadar berjaga-jaga seandainya para pasukan kuning menyerang, tapi yang kulihat hanya satu orang yang berjalan di kejauhan, tak jelas siapa karena siluet. “Ah, kalo cuma satu aja gampang,” pikirku.
Hei, Njing!” sebuah suara menggetarkan udara memecah lamunanku, “hah, berani juga bocah sayur nyoretin tag gue!” lanjutnya. Sejenak adrenalinku memuncak, berasa siap untuk segalanya, tapi hanya beberaa detik saja. Kira-kira dua lusin anak YLW telah mengelilingiku. Mampus! Tak perlu tunggu lama, sebuah balok kayu menghantam betisku, cukup kuat hingga membuatku berlutut. Adon, si pemimpin gerombolan menumpukan kakinya ke pundakku, sembari meludahi mukaku dia bertanya, “ada permintaan terakhir?” senyum kemenangan tersungging di wajahnya, “habisin ni kampret! Biar buat pelajaran buat yang laen!” dalam hitungan detik jutaan syarafku mengejang, nyeri tak tertahankan karena benturan pipa besi, balok kayu, hingga sol sepatu pantofel.

Woi! Bubar semua!” seseorang berseru dari kejauhan, agaknya sambil berlari, samar kulihat orang itu, pandanganku kabur, mungkin mau pingsan. “Lo pada beraninya main keroyokan, kalo berani satu-satu lawan gue!” hahaha, aku tertawa dalam hati. “Pak Tomi,” gumamku sebelum benar-benar pingsan, setidaknya aku masih bisa tersenyum senang, si guru bodoh itu rela menghantar nyawa buatku.
Entah berapa menit kami tergeletak di sana, yang jelas Pak Tomi pun sudah kehabisan darah apalagi tenaga buat berdiri. “Hei Pak, jangan mati dulu,” kataku sekuat tenaga. Dia tersenyum, lalu berkata lirih, “Bocah tolol, sejak kapan lo manggil gue Pak?”...sejak anda mengikuti saya tadi, Pak.

Sunday, November 11, 2012

Well, it's a bit of the junk inside my head....It's kinda hard to live in a society where social rank does matter. As a young spirit, I have a dream of wandering the world, penetrating the depth of the most remote villages in Brazil, sweeping the sand in a small tribal society in Tanzania, or dodging bullets in some conflict area in Burma teaching children how to read and write, encouraging them in speaking their thoughts out loud. However, according to my society, such kind of "volunteering" job has no future. They expect me to be working in a bona-fide company as a salary man, getting plenty of money for my family and stuffs like that. I mean, what's wrong with following my dream and being detached from the "comfort zone"?

Guru Pindah ke Bulan

Guru...ahh sebuah kata yang menggairahkan, membuka imaji-imaji akan kemuliaan, loyalitas, pengabdian, setidaknya begitulah yang seharusnya diucapkan. Dalam bahasa jawa guru mendapat predikat “diGUgu lan ditiRU” yang artinya dipatuhi dan dicontoh, sebuah predikat yang dimuliakan. Betapa tidak, seorang yang kata-katanya menjadi teladan dan pedoman bagi orang lain adalah seorang yang luar biasa, bahkan di jaman sekarang, siapa sih yang tidak menginginkan banyak follower pada akun twitter mereka? Tidak heran jika orang-orang sangat menghormati seseorang yang berprofesi sebagai guru dalam berbagai lingkup dan konteks. Akan tetapi, di jaman sekarang ini, ketika ilmu pedagogi telah berkembang pesat, apakah definisi guru tersebut masih relevan? Bagi saya: tidak.

Guru dalam konteks pendidikan modern merupakan fasilitator bagi siswa, bukan lagi sumber ilmu. Secara populer, cara mengajar teacher-centered telah beranjak ditinggalkan, berganti dengan student-centered learning di mana siswa adalah pusat kegiatan belajar. Lalu apa peran guru dalam pendidikan? Menurut saya guru seharusnya memberikan porsi lebih dalam mentransfer nilai-nilai hidup, memberikan panduan-panduan belajar bagi siswa dalam mengembangkan diri: sebuah panduan yang bersifat fleksibel mengembangkan dan bukan kaku mengikat. Itu bukan juga berarti para guru harus melakukan seminar motivasi semacam Om Mario Teguh pada para muridnya—lucu juga ya, melainkan menyertakannya dalam keseharian mengajar. “Wah, abstrak sekali, Mas. Gak praktis nih.” okelah kalo begitu, saya akan sedikit berelaborasi, ingat: sedikit.

Ujian atau penghakiman?
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar bahwa besok ada ujian? “Mati! belum belajar nih gue!” atau “Moga-moga besok gurunya mendadak kondangan anak pak RT”? Apa pun itu, dengan menilik paradigma guru dan murid akan ujian, wajar kok jika kita merasa insecure, lebih-lebih kalau menyangkut ujian nasional. Sebenarnya tujuan ujian atau penilaian itu apa sih kok segitunya menghantui mimpi indah para siswa? Sebenarnya semua juga sudah tahu kalau ujian itu untuk menguji tingkat pemahaman para siswa dalam suatu periode belajar, tetapi yang terjadi adalah bahwa ujian itu digunakan untuk menentukan masa depan, dan proses belajar pun menjadi semacam laundry: sehari jadi. Parahnya lagi ketika nilai ujian dibagikan, sang guru dengan gusar mengumumkan bahwa siswanya tidak kompeten, kurang belajar, dan lain lain. Komplikasinya adalah siswa—yang mendapat nilai dibawah syarat—akan terdemotivasi, kehilangan self-esteem, bahkan takut pulang ke rumah. Jika rata-rata nilai ujian terlalu rendah, atau marginnya terlalu lebar, guru lah yang seharusnya mengevaluasi diri mati-matian, apakah cara mengajarnya selama ini telah efektif mengakomodasi intelegensi para siswanya. Guru pun harus realistis memberikan materi ujian: apakah materi yang diujikan telah sesuai dengan yang diajarkan. Selanjutnya, guru sebaiknya mempertimbangkan apakah akan lanjut ke materi berikutnya atau harus mereview ujian tersebut. Dengan demikian, siswa benar-benar mendapatkan hikmah dari ujian.

Ruang pujian bagi hati yang belajar

Seberapa sering kah seorang guru memberikan dorongan positif bagi siswa, atau kah lebih sering menstigma siswa dengan predikat tidak menyenangkan (bodoh, malas, dll)? Secara bawah sadar, kata-kata positif akan membombong siswa dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Tidak bertindak bossy atau paling benar di kelas juga akan menumbuhkan penghargaan dari diri siswa. Berikan ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, bukan dengan menekannya. Walau pun kecil, setiap bentuk penghargaan bagi siswa sangat lah berarti. Tetapi perlu diingat, pujian semacam ini jangan terlalu mudah diberikan untuk menjaga value-nya.

Wuahh, masih banyak lagi yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam menanamkan value dalam perziarahannya mengajar, kalau ditulis semua bisa jadi buku, lain kali disambung lagi. Intinya, sudah bukan saatnya lagi guru men-tether pengetahuan mereka ke pada siswa, melainkan menuntun siswa untuk menjadi penimba ilmu abadi yang seutuhnya. Siswa lah yang menjadi pusat orbit dalam pendidikan. Seorang pahlawan tidak akan memaksakan pikirannya untuk mendapatan pengikut. Ia akan memberikan berpikir kepada para pengikutnya supaya kelak mereka menjadi pahlawan-pahlawan bagi orang lain.


Para Arsitek Alam Semesta




Semakin hari semakin banyak saja orang yang menggembar-gemborkan buruknya pendidikan di Indonesia; mulai dari menyalahkan sistem pendidikan yang carut marut, kurikulum yang berubah-ubah tanpa kepastian arah, biaya yang tinggi, hingga turunnya profesionalitas guru. Ada benarnya faktor-faktor tersebut dijadikan kambing hitam permasalahan pendidikan di Indonesia, tetapi kuranglah bijaksana jika menyalahkan sang empunya pohon mangga yang tidak berbuah karena lalai memberi pupuk atau menghalau hama padahal pohon tersebut tumbuh di atas bebatuan. Mengapa kita tidak membenahi akar permasalahan terlebih dahulu sebelum mengoreksi hal-hal yang mengikutinya?
Menurut saya—yang sudah eneg mendengar gunjingan masyarakat terhadap sistem pendidikan kita, permasalah utama justru datang dari “satuan pendidikan” yang paling kecil: keluarga. Lho, apakah orang tua kurang berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya? Bukannya banyak orang tua yang sudah keluar uang banyak untuk memasukkan putera-puterinya ke sekolah mahal berbasis internasional, bahkan intergalaktika? Hahaha, sungguh jenaka; orang-orang tua ini memiliki selera humor yang lucu. Coba tanyakan kepada mereka, ada berapa yang menyekolahkan anaknya karena anak-anak mereka meminta untuk disekolahkan. Lalu, dari sekian itu, ada berapa anak yang meminta sekolah karena benar-benar ingin, dan bukan karena takut malu dibicarakan tetangga? Kapankah orang tua akan berhenti berkata, “Kamu harus rajin belajarnya biar dapat nilai bagus, ranking satu! Mama gak mau tahu, pokoknya kalo kamu gak ranking satu, gak ada lagi PS3!”

Hmmm, sepertinya untuk beberapa tahun kedepan situasinya masih akan begitu-begitu saja, apalagi banyak artikel-artikel di internet atau bahan presentasi para motivator yang mengatakan bahwa persaingan tenaga kerja di dunia semakin ketat. Akan semakin banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan (les-les an) sepulang sekolah, jika perlu tiap hari, agar anak-anaknya “berprestasi”. Belum-belum jika sang ayah mendapat laporan dari sekolah bahwa anaknya mendapat nilai rendah, beliau akan berkata, “Apaa? Cuma 75?? Sudah papa bilang kan, belajar yang bener!” yakali si anak bakal semangat belajar dengan riang gembira. Ada nggak sih orang tua yang mengatakan ke anaknya, “Wow, kamu dapat nilai 45, dek? Hmm, kemaren udah belajar kan? Susah kah pelajaranya? Yuk dibahas lagi sama papa, nilai segini gak masalah asal adek paham. Yang penting adek udah berusaha keras”.

Cita-cita

Setiap kali saya menanyakan kepada seorang anak SD tentang anak cita-cita mereka, jawabannya masih saja cliché, masih sama sejak zaman kemerdekaan RI: dokter, presiden, arsitek, pegawai, direktur dan kawan-kawan. Ya bukannya mendiskreditkan pekerjaan-pekerjaan tersebut, yang jadi masalah adalah ketika yang mereka ucapkan itu merupakan bentuk kesukseskan orang tua dalam mendoktrin anak-anak mereka agar jadi orang kaya (karena kebanyakan tolok ukur kebahagiaan adalah jumlah saldo simpanan pribadi di bank dengan rumus: tingkat kebahagiaan dan kesuksesan seseorang berbanding lurus dengan jumlah digit di rekening bank). Tapi orang tua mana sih yang gak ingin anaknya “bahagia”? Nahh...berarti para orang tua harus meredefinisikan kata bahagia tersebut. Betapa bahagianya orang tua (atau mungkin cuma saya) ketika melihat anaknya melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh mereka sukai lahir-batin dan benar-benar total di dalamnya.

Jadi, sebaiknya para orang tua lebih menghargai dan mengapresiasi secara positif kebebasan anak-anaknya dalam menentukan pendidikan. Terdengar cliché memang, tapi selama ini kebebasan menentukan pilihan bagi si anak hanyalah sebatas penggalan frasa dalam buku PPKn, Pkn, PMP, budipekerti, atau apalah namanya. Jika anak berangkat ke sekolah, pastikan si anak dengan riang gembira, tanpa paksaan, tanpa beban melangkahkan kaki-kaki harapan bangsa mereka menuju gerbang masa depan mereka. Ingat, seorang anak terlahir BUKAN sebagai selembar kertas putih yang siap digoresi tinta-tinta kehidupan, melainkan terlahir bagaikan siteplan/blueprint sebuah bangunan yang telah memiliki bentuk dan tujuannya sendiri, dan orang tua hanya berperan sebagai kontraktor yang memfasilitasi para arsitek semesta tersebut dalam mewujudkan impian mereka tanpa berkurang satu pilar pun.

credits: