Masih samar kulihat, bulir hujan ini
bagaikan percikan lahar merajam kulitku: panas membakar. Berpelukan
dengan aspal yang perlahan mencair, tubuhku kaku, tak tahu lagi mana
tangan mana kaki. Di seberang embun lensa minusku, sosok itu masih
ada, sedang santai rupanya, seenaknya saja rebahan di jalan.
Hahaha...lucu juga, baru sejam yang lalu orang itu memakiku karena
bawa-bawa pylox. Namanya juga
anak muda, kan wajar kalau jiwanya terusik gara-gara sekolah seberang
corat-coret nama mereka di area kami.
“Hei,
kamu! Iya kamu Erik, sini bentar!” hardiknya waktu itu. “Ngapain
bawa-bawa beginian segala? Lomba mural udah kelar, trus kamu juga gak
usah khawatir ngebersihin cat tembok belakang. Diemin aja udah!”
katanya sambil berusaha merebut pylox hijauku. Ya, hijau warna
sekolahku.
“Halah,
guru baru kemaren aja udah belagu! Kaga usah sok ngatur deh!”
balasku.
“Kamu
ngomong gitu lagi ke saya,... kantor Pak Parno,” ancamnya. Pak
Parno adalah kepala sekolahku yang lemah lembut. Beliau tidak pernah
menghardik siswanya secara kasar, selalu santun. Tapi entah mengapa
sudah tujuh anak dikeluarkannya tahun ini.
“Bodo
amat!” jawabku sekenanya. Kulanjutkan langkahku penuh semangat.
Penasaran juga, siapa sih yang berani mengibarkan bendera perang? Oh,
Pak Tomi, si guru baru tadi tak berkomentar lebih lanjut, seketika
itu juga bayangannya pun menguap.
Ternyata
benar, kuning. Terlihat dengan jelas di tembok belakang sekolah kami,
semprotan cat berwarna kuning pisang bertuliskan “YLW”, bukan
dari kata “yellow” melainkan “Your Last Whish”. Entah apa
maksud mereka dengan sebutan itu, bahasa Inggrisku di bawah standar.
Yang jelas, mereka sudah berani menginvasi teritori kami. Segera saja
kuhijaukan YLW itu, lalu sebelahnya kutulis CLP, singkatan dari
Chlorophyll, mungkin karena hijau, mungkin para seniorku penyuka
biologi, mungkin juga dulunya mereka penjual obat MLM. Beres sudah.
Kulanjutkan
kemenanganku seorang diri. Serasa Bruce Willis yang sukses meledakkan
mobil musuhnya di film Die Hard, langkahku mantap meninggalkan TKP.
Sambil menyusuri jalan pinggir sawah yang aspalnya protes kepanasan,
sesekali ku membayangkan mendapat pujian dari teman-teman karena
telah mengkoreksi coretan
tadi. Sesekali ku menengok ke belakang, sekadar berjaga-jaga
seandainya para pasukan kuning menyerang, tapi yang kulihat hanya
satu orang yang berjalan di kejauhan, tak jelas siapa karena siluet.
“Ah, kalo cuma satu aja gampang,” pikirku.
“Hei,
Njing!” sebuah suara menggetarkan udara memecah lamunanku, “hah,
berani juga bocah sayur nyoretin tag gue!” lanjutnya. Sejenak
adrenalinku memuncak, berasa siap untuk segalanya, tapi hanya beberaa
detik saja. Kira-kira dua lusin anak YLW telah mengelilingiku.
Mampus! Tak perlu tunggu lama, sebuah balok kayu menghantam betisku,
cukup kuat hingga membuatku berlutut. Adon, si pemimpin gerombolan
menumpukan kakinya ke pundakku, sembari meludahi mukaku dia bertanya,
“ada permintaan terakhir?” senyum kemenangan tersungging di
wajahnya, “habisin ni kampret! Biar buat pelajaran buat yang laen!”
dalam hitungan detik jutaan syarafku mengejang, nyeri tak tertahankan
karena benturan pipa besi, balok kayu, hingga sol sepatu pantofel.
“Woi!
Bubar semua!” seseorang berseru dari kejauhan, agaknya sambil
berlari, samar kulihat orang itu, pandanganku kabur, mungkin mau
pingsan. “Lo pada beraninya main keroyokan, kalo berani satu-satu
lawan gue!” hahaha, aku tertawa dalam hati. “Pak Tomi,” gumamku
sebelum benar-benar pingsan, setidaknya aku masih bisa tersenyum
senang, si guru bodoh itu rela menghantar nyawa buatku.
Entah
berapa menit kami tergeletak di sana, yang jelas Pak Tomi pun sudah
kehabisan darah apalagi tenaga buat berdiri. “Hei Pak, jangan mati
dulu,” kataku sekuat tenaga. Dia tersenyum, lalu berkata lirih,
“Bocah tolol, sejak kapan lo manggil gue Pak?”...sejak anda
mengikuti saya tadi, Pak.