Semakin hari semakin
banyak saja orang yang menggembar-gemborkan buruknya pendidikan di
Indonesia; mulai dari menyalahkan sistem pendidikan yang carut marut,
kurikulum yang berubah-ubah tanpa kepastian arah, biaya yang tinggi,
hingga turunnya profesionalitas guru. Ada benarnya faktor-faktor
tersebut dijadikan kambing hitam permasalahan pendidikan di
Indonesia, tetapi kuranglah bijaksana jika menyalahkan sang empunya
pohon mangga yang tidak berbuah karena lalai memberi pupuk atau
menghalau hama padahal pohon tersebut tumbuh di atas bebatuan.
Mengapa kita tidak membenahi akar permasalahan terlebih dahulu
sebelum mengoreksi hal-hal yang mengikutinya?
Menurut saya—yang sudah
eneg mendengar gunjingan
masyarakat terhadap sistem pendidikan kita, permasalah utama justru
datang dari “satuan pendidikan” yang paling kecil: keluarga. Lho,
apakah orang tua kurang berusaha memberikan yang terbaik untuk
pendidikan anak-anaknya? Bukannya banyak orang tua yang sudah keluar
uang banyak untuk memasukkan putera-puterinya ke sekolah mahal
berbasis internasional, bahkan intergalaktika? Hahaha, sungguh
jenaka; orang-orang tua ini memiliki selera humor yang lucu. Coba
tanyakan kepada mereka, ada berapa yang menyekolahkan anaknya karena
anak-anak mereka meminta untuk disekolahkan. Lalu, dari sekian itu,
ada berapa anak yang meminta sekolah karena benar-benar ingin, dan
bukan karena takut malu dibicarakan tetangga? Kapankah orang tua akan
berhenti berkata, “Kamu harus rajin belajarnya biar dapat nilai
bagus, ranking satu! Mama gak mau tahu, pokoknya kalo kamu gak
ranking satu, gak ada lagi PS3!”
Hmmm,
sepertinya untuk beberapa tahun kedepan situasinya masih akan
begitu-begitu saja, apalagi banyak artikel-artikel di internet atau
bahan presentasi para motivator yang mengatakan bahwa persaingan
tenaga kerja di dunia semakin ketat. Akan semakin banyak orang tua
yang memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan (les-les an)
sepulang sekolah, jika perlu tiap hari, agar anak-anaknya
“berprestasi”. Belum-belum jika sang ayah mendapat laporan dari
sekolah bahwa anaknya mendapat nilai rendah, beliau akan berkata,
“Apaa? Cuma 75?? Sudah papa bilang kan, belajar yang bener!”
yakali si anak bakal semangat belajar dengan riang gembira. Ada nggak
sih orang tua yang mengatakan ke anaknya, “Wow, kamu dapat nilai
45, dek? Hmm, kemaren udah belajar kan? Susah kah pelajaranya? Yuk
dibahas lagi sama papa, nilai segini gak masalah asal adek paham.
Yang penting adek udah berusaha keras”.
Cita-cita
Setiap
kali saya menanyakan kepada seorang anak SD tentang anak cita-cita
mereka, jawabannya masih saja cliché, masih sama sejak zaman
kemerdekaan RI: dokter, presiden, arsitek, pegawai, direktur dan
kawan-kawan. Ya bukannya mendiskreditkan pekerjaan-pekerjaan
tersebut, yang jadi masalah adalah ketika yang mereka ucapkan itu
merupakan bentuk kesukseskan orang tua dalam mendoktrin anak-anak
mereka agar jadi orang kaya (karena kebanyakan tolok ukur kebahagiaan
adalah jumlah saldo simpanan pribadi di bank dengan rumus: tingkat
kebahagiaan dan kesuksesan seseorang berbanding lurus dengan jumlah
digit di rekening bank). Tapi orang tua mana sih yang gak ingin
anaknya “bahagia”? Nahh...berarti para orang tua harus
meredefinisikan kata bahagia tersebut. Betapa bahagianya orang tua
(atau mungkin cuma saya) ketika melihat anaknya melakukan sesuatu
yang sungguh-sungguh mereka sukai lahir-batin dan benar-benar total
di dalamnya.
Jadi,
sebaiknya para orang tua lebih menghargai dan mengapresiasi secara
positif kebebasan anak-anaknya dalam menentukan pendidikan. Terdengar
cliché memang, tapi selama ini kebebasan menentukan pilihan bagi si
anak hanyalah sebatas penggalan frasa dalam buku PPKn, Pkn, PMP,
budipekerti, atau apalah namanya. Jika anak berangkat ke sekolah,
pastikan si anak dengan riang gembira, tanpa paksaan, tanpa beban
melangkahkan kaki-kaki harapan bangsa mereka menuju gerbang masa
depan mereka. Ingat, seorang anak terlahir BUKAN sebagai selembar
kertas putih yang siap digoresi tinta-tinta kehidupan, melainkan
terlahir bagaikan siteplan/blueprint sebuah bangunan yang telah
memiliki bentuk dan tujuannya sendiri, dan orang tua hanya berperan
sebagai kontraktor yang memfasilitasi para arsitek semesta tersebut
dalam mewujudkan impian mereka tanpa berkurang satu pilar pun.
credits:
cover picture by archanN http://browse.deviantart.com/?q=children+imagination#/d1opx98
Artikel ini menarik sekali, mungkin hanya beberapa orang tua kita yang benar-benar paham mengenai pentingnya pengembangan potensi khusus yang tak selalu berada dalam kurikulum. "Bakat" atau kadang kita sebut "lentera jiwa" tiap orang sudah pasti berbeda-beda, jika kita memaksakan anak untuk unggul dalam semua mata pelajaran memang ada baiknya, namun sebagai orang tua seharusnya memaklumi jika ada pelajaran yang memang tidak disuka atau susah dipahami oleh anak, karena terkadang kualitas lebih baik daripada kuantitas. Jika memang dia suka dan sangat tekun mempelajari sesuatu, secara otomatis ia akan menguasainya dengan baik, sehingga ia benar-benar paham yang ia pelajari, daripada mempelajari sesuatu atas dasar paksaan, ilmu yang didapat pun juga ilmu "terpaksa". Jika ada pelajaran tertentu pada rapot ada yang tidak bagus, maklumilah, tak usah memaksa menaikkan nilai itu setinggi-tingginya, dan jika ada yang bagus, justru itu yang terus digali.
ReplyDeleteDi dunia ini cara mencari uang ada jutaan cara, namun kesempatan anak untuk menggali cita-cita lewat proses belajar yang benar-benar murni dari lubuk hati sangatlah terbatas, sayang jika anak kita melewatkan kesempatan itu.
luar biasa...akhirnya ada yang sepaham juga...makasi mas...maaf jika tulisan saya kurang mendalam, tetapi setidaknya begitulah yang saya rasakan. Saya tunggu diskusinya...:D
Delete