Guru...ahh sebuah kata yang
menggairahkan, membuka imaji-imaji akan kemuliaan, loyalitas,
pengabdian, setidaknya begitulah yang seharusnya diucapkan. Dalam
bahasa jawa guru mendapat predikat “diGUgu lan ditiRU” yang
artinya dipatuhi dan dicontoh, sebuah predikat yang dimuliakan.
Betapa tidak, seorang yang kata-katanya menjadi teladan dan pedoman
bagi orang lain adalah seorang yang luar biasa, bahkan di jaman
sekarang, siapa sih yang tidak menginginkan banyak follower pada akun
twitter mereka? Tidak heran jika orang-orang sangat menghormati
seseorang yang berprofesi sebagai guru dalam berbagai lingkup dan
konteks. Akan tetapi, di jaman sekarang ini, ketika ilmu pedagogi
telah berkembang pesat, apakah definisi guru tersebut masih relevan?
Bagi saya: tidak.
Guru dalam konteks pendidikan modern
merupakan fasilitator bagi siswa, bukan lagi sumber ilmu. Secara
populer, cara mengajar teacher-centered telah beranjak ditinggalkan,
berganti dengan student-centered learning di mana siswa adalah pusat
kegiatan belajar. Lalu apa peran guru dalam pendidikan? Menurut saya
guru seharusnya memberikan porsi lebih dalam mentransfer nilai-nilai
hidup, memberikan panduan-panduan belajar bagi siswa dalam
mengembangkan diri: sebuah panduan yang bersifat fleksibel
mengembangkan dan bukan kaku mengikat. Itu bukan juga berarti para
guru harus melakukan seminar motivasi semacam Om Mario Teguh pada
para muridnya—lucu juga ya, melainkan menyertakannya dalam
keseharian mengajar. “Wah, abstrak sekali, Mas. Gak praktis nih.”
okelah kalo begitu, saya akan sedikit berelaborasi, ingat: sedikit.
Ujian atau penghakiman?
Apa yang ada di benak kita ketika
mendengar bahwa besok ada ujian? “Mati! belum belajar nih gue!”
atau “Moga-moga besok gurunya mendadak kondangan anak pak RT”?
Apa pun itu, dengan menilik paradigma guru dan murid akan ujian,
wajar kok jika kita merasa insecure, lebih-lebih kalau menyangkut
ujian nasional. Sebenarnya tujuan ujian atau penilaian itu apa sih
kok segitunya menghantui mimpi indah para siswa? Sebenarnya semua
juga sudah tahu kalau ujian itu untuk menguji tingkat pemahaman para
siswa dalam suatu periode belajar, tetapi yang terjadi adalah bahwa
ujian itu digunakan untuk menentukan masa depan, dan proses belajar
pun menjadi semacam laundry: sehari jadi. Parahnya lagi ketika nilai
ujian dibagikan, sang guru dengan gusar mengumumkan bahwa siswanya
tidak kompeten, kurang belajar, dan lain lain. Komplikasinya adalah
siswa—yang mendapat nilai dibawah syarat—akan terdemotivasi,
kehilangan self-esteem, bahkan takut pulang ke rumah. Jika rata-rata
nilai ujian terlalu rendah, atau marginnya terlalu lebar, guru lah
yang seharusnya mengevaluasi diri mati-matian, apakah cara
mengajarnya selama ini telah efektif mengakomodasi intelegensi para
siswanya. Guru pun harus realistis memberikan materi ujian: apakah
materi yang diujikan telah sesuai dengan yang diajarkan. Selanjutnya,
guru sebaiknya mempertimbangkan apakah akan lanjut ke materi
berikutnya atau harus mereview ujian tersebut. Dengan demikian, siswa
benar-benar mendapatkan hikmah dari ujian.
Ruang pujian bagi hati yang belajar
Seberapa sering kah seorang guru memberikan dorongan positif bagi siswa, atau kah lebih sering menstigma siswa dengan predikat tidak menyenangkan (bodoh, malas, dll)? Secara bawah sadar, kata-kata positif akan membombong siswa dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Tidak bertindak bossy atau paling benar di kelas juga akan menumbuhkan penghargaan dari diri siswa. Berikan ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, bukan dengan menekannya. Walau pun kecil, setiap bentuk penghargaan bagi siswa sangat lah berarti. Tetapi perlu diingat, pujian semacam ini jangan terlalu mudah diberikan untuk menjaga value-nya.
Wuahh, masih banyak lagi yang perlu
diperhatikan oleh seorang guru dalam menanamkan value dalam
perziarahannya mengajar, kalau ditulis semua bisa jadi buku, lain
kali disambung lagi. Intinya, sudah bukan saatnya lagi guru
men-tether pengetahuan mereka ke pada siswa, melainkan menuntun siswa
untuk menjadi penimba ilmu abadi yang seutuhnya. Siswa lah yang
menjadi pusat orbit dalam pendidikan. Seorang pahlawan tidak akan
memaksakan pikirannya untuk mendapatan pengikut. Ia akan memberikan
berpikir kepada para pengikutnya supaya kelak mereka menjadi
pahlawan-pahlawan bagi orang lain.
No comments:
Post a Comment