Sunday, November 11, 2012

Guru Pindah ke Bulan

Guru...ahh sebuah kata yang menggairahkan, membuka imaji-imaji akan kemuliaan, loyalitas, pengabdian, setidaknya begitulah yang seharusnya diucapkan. Dalam bahasa jawa guru mendapat predikat “diGUgu lan ditiRU” yang artinya dipatuhi dan dicontoh, sebuah predikat yang dimuliakan. Betapa tidak, seorang yang kata-katanya menjadi teladan dan pedoman bagi orang lain adalah seorang yang luar biasa, bahkan di jaman sekarang, siapa sih yang tidak menginginkan banyak follower pada akun twitter mereka? Tidak heran jika orang-orang sangat menghormati seseorang yang berprofesi sebagai guru dalam berbagai lingkup dan konteks. Akan tetapi, di jaman sekarang ini, ketika ilmu pedagogi telah berkembang pesat, apakah definisi guru tersebut masih relevan? Bagi saya: tidak.

Guru dalam konteks pendidikan modern merupakan fasilitator bagi siswa, bukan lagi sumber ilmu. Secara populer, cara mengajar teacher-centered telah beranjak ditinggalkan, berganti dengan student-centered learning di mana siswa adalah pusat kegiatan belajar. Lalu apa peran guru dalam pendidikan? Menurut saya guru seharusnya memberikan porsi lebih dalam mentransfer nilai-nilai hidup, memberikan panduan-panduan belajar bagi siswa dalam mengembangkan diri: sebuah panduan yang bersifat fleksibel mengembangkan dan bukan kaku mengikat. Itu bukan juga berarti para guru harus melakukan seminar motivasi semacam Om Mario Teguh pada para muridnya—lucu juga ya, melainkan menyertakannya dalam keseharian mengajar. “Wah, abstrak sekali, Mas. Gak praktis nih.” okelah kalo begitu, saya akan sedikit berelaborasi, ingat: sedikit.

Ujian atau penghakiman?
Apa yang ada di benak kita ketika mendengar bahwa besok ada ujian? “Mati! belum belajar nih gue!” atau “Moga-moga besok gurunya mendadak kondangan anak pak RT”? Apa pun itu, dengan menilik paradigma guru dan murid akan ujian, wajar kok jika kita merasa insecure, lebih-lebih kalau menyangkut ujian nasional. Sebenarnya tujuan ujian atau penilaian itu apa sih kok segitunya menghantui mimpi indah para siswa? Sebenarnya semua juga sudah tahu kalau ujian itu untuk menguji tingkat pemahaman para siswa dalam suatu periode belajar, tetapi yang terjadi adalah bahwa ujian itu digunakan untuk menentukan masa depan, dan proses belajar pun menjadi semacam laundry: sehari jadi. Parahnya lagi ketika nilai ujian dibagikan, sang guru dengan gusar mengumumkan bahwa siswanya tidak kompeten, kurang belajar, dan lain lain. Komplikasinya adalah siswa—yang mendapat nilai dibawah syarat—akan terdemotivasi, kehilangan self-esteem, bahkan takut pulang ke rumah. Jika rata-rata nilai ujian terlalu rendah, atau marginnya terlalu lebar, guru lah yang seharusnya mengevaluasi diri mati-matian, apakah cara mengajarnya selama ini telah efektif mengakomodasi intelegensi para siswanya. Guru pun harus realistis memberikan materi ujian: apakah materi yang diujikan telah sesuai dengan yang diajarkan. Selanjutnya, guru sebaiknya mempertimbangkan apakah akan lanjut ke materi berikutnya atau harus mereview ujian tersebut. Dengan demikian, siswa benar-benar mendapatkan hikmah dari ujian.

Ruang pujian bagi hati yang belajar

Seberapa sering kah seorang guru memberikan dorongan positif bagi siswa, atau kah lebih sering menstigma siswa dengan predikat tidak menyenangkan (bodoh, malas, dll)? Secara bawah sadar, kata-kata positif akan membombong siswa dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Tidak bertindak bossy atau paling benar di kelas juga akan menumbuhkan penghargaan dari diri siswa. Berikan ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan mereka, bukan dengan menekannya. Walau pun kecil, setiap bentuk penghargaan bagi siswa sangat lah berarti. Tetapi perlu diingat, pujian semacam ini jangan terlalu mudah diberikan untuk menjaga value-nya.

Wuahh, masih banyak lagi yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam menanamkan value dalam perziarahannya mengajar, kalau ditulis semua bisa jadi buku, lain kali disambung lagi. Intinya, sudah bukan saatnya lagi guru men-tether pengetahuan mereka ke pada siswa, melainkan menuntun siswa untuk menjadi penimba ilmu abadi yang seutuhnya. Siswa lah yang menjadi pusat orbit dalam pendidikan. Seorang pahlawan tidak akan memaksakan pikirannya untuk mendapatan pengikut. Ia akan memberikan berpikir kepada para pengikutnya supaya kelak mereka menjadi pahlawan-pahlawan bagi orang lain.


No comments:

Post a Comment