Sunday, November 11, 2012

Para Arsitek Alam Semesta




Semakin hari semakin banyak saja orang yang menggembar-gemborkan buruknya pendidikan di Indonesia; mulai dari menyalahkan sistem pendidikan yang carut marut, kurikulum yang berubah-ubah tanpa kepastian arah, biaya yang tinggi, hingga turunnya profesionalitas guru. Ada benarnya faktor-faktor tersebut dijadikan kambing hitam permasalahan pendidikan di Indonesia, tetapi kuranglah bijaksana jika menyalahkan sang empunya pohon mangga yang tidak berbuah karena lalai memberi pupuk atau menghalau hama padahal pohon tersebut tumbuh di atas bebatuan. Mengapa kita tidak membenahi akar permasalahan terlebih dahulu sebelum mengoreksi hal-hal yang mengikutinya?
Menurut saya—yang sudah eneg mendengar gunjingan masyarakat terhadap sistem pendidikan kita, permasalah utama justru datang dari “satuan pendidikan” yang paling kecil: keluarga. Lho, apakah orang tua kurang berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya? Bukannya banyak orang tua yang sudah keluar uang banyak untuk memasukkan putera-puterinya ke sekolah mahal berbasis internasional, bahkan intergalaktika? Hahaha, sungguh jenaka; orang-orang tua ini memiliki selera humor yang lucu. Coba tanyakan kepada mereka, ada berapa yang menyekolahkan anaknya karena anak-anak mereka meminta untuk disekolahkan. Lalu, dari sekian itu, ada berapa anak yang meminta sekolah karena benar-benar ingin, dan bukan karena takut malu dibicarakan tetangga? Kapankah orang tua akan berhenti berkata, “Kamu harus rajin belajarnya biar dapat nilai bagus, ranking satu! Mama gak mau tahu, pokoknya kalo kamu gak ranking satu, gak ada lagi PS3!”

Hmmm, sepertinya untuk beberapa tahun kedepan situasinya masih akan begitu-begitu saja, apalagi banyak artikel-artikel di internet atau bahan presentasi para motivator yang mengatakan bahwa persaingan tenaga kerja di dunia semakin ketat. Akan semakin banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan (les-les an) sepulang sekolah, jika perlu tiap hari, agar anak-anaknya “berprestasi”. Belum-belum jika sang ayah mendapat laporan dari sekolah bahwa anaknya mendapat nilai rendah, beliau akan berkata, “Apaa? Cuma 75?? Sudah papa bilang kan, belajar yang bener!” yakali si anak bakal semangat belajar dengan riang gembira. Ada nggak sih orang tua yang mengatakan ke anaknya, “Wow, kamu dapat nilai 45, dek? Hmm, kemaren udah belajar kan? Susah kah pelajaranya? Yuk dibahas lagi sama papa, nilai segini gak masalah asal adek paham. Yang penting adek udah berusaha keras”.

Cita-cita

Setiap kali saya menanyakan kepada seorang anak SD tentang anak cita-cita mereka, jawabannya masih saja cliché, masih sama sejak zaman kemerdekaan RI: dokter, presiden, arsitek, pegawai, direktur dan kawan-kawan. Ya bukannya mendiskreditkan pekerjaan-pekerjaan tersebut, yang jadi masalah adalah ketika yang mereka ucapkan itu merupakan bentuk kesukseskan orang tua dalam mendoktrin anak-anak mereka agar jadi orang kaya (karena kebanyakan tolok ukur kebahagiaan adalah jumlah saldo simpanan pribadi di bank dengan rumus: tingkat kebahagiaan dan kesuksesan seseorang berbanding lurus dengan jumlah digit di rekening bank). Tapi orang tua mana sih yang gak ingin anaknya “bahagia”? Nahh...berarti para orang tua harus meredefinisikan kata bahagia tersebut. Betapa bahagianya orang tua (atau mungkin cuma saya) ketika melihat anaknya melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh mereka sukai lahir-batin dan benar-benar total di dalamnya.

Jadi, sebaiknya para orang tua lebih menghargai dan mengapresiasi secara positif kebebasan anak-anaknya dalam menentukan pendidikan. Terdengar cliché memang, tapi selama ini kebebasan menentukan pilihan bagi si anak hanyalah sebatas penggalan frasa dalam buku PPKn, Pkn, PMP, budipekerti, atau apalah namanya. Jika anak berangkat ke sekolah, pastikan si anak dengan riang gembira, tanpa paksaan, tanpa beban melangkahkan kaki-kaki harapan bangsa mereka menuju gerbang masa depan mereka. Ingat, seorang anak terlahir BUKAN sebagai selembar kertas putih yang siap digoresi tinta-tinta kehidupan, melainkan terlahir bagaikan siteplan/blueprint sebuah bangunan yang telah memiliki bentuk dan tujuannya sendiri, dan orang tua hanya berperan sebagai kontraktor yang memfasilitasi para arsitek semesta tersebut dalam mewujudkan impian mereka tanpa berkurang satu pilar pun.

credits:
 


2 comments:

  1. Artikel ini menarik sekali, mungkin hanya beberapa orang tua kita yang benar-benar paham mengenai pentingnya pengembangan potensi khusus yang tak selalu berada dalam kurikulum. "Bakat" atau kadang kita sebut "lentera jiwa" tiap orang sudah pasti berbeda-beda, jika kita memaksakan anak untuk unggul dalam semua mata pelajaran memang ada baiknya, namun sebagai orang tua seharusnya memaklumi jika ada pelajaran yang memang tidak disuka atau susah dipahami oleh anak, karena terkadang kualitas lebih baik daripada kuantitas. Jika memang dia suka dan sangat tekun mempelajari sesuatu, secara otomatis ia akan menguasainya dengan baik, sehingga ia benar-benar paham yang ia pelajari, daripada mempelajari sesuatu atas dasar paksaan, ilmu yang didapat pun juga ilmu "terpaksa". Jika ada pelajaran tertentu pada rapot ada yang tidak bagus, maklumilah, tak usah memaksa menaikkan nilai itu setinggi-tingginya, dan jika ada yang bagus, justru itu yang terus digali.

    Di dunia ini cara mencari uang ada jutaan cara, namun kesempatan anak untuk menggali cita-cita lewat proses belajar yang benar-benar murni dari lubuk hati sangatlah terbatas, sayang jika anak kita melewatkan kesempatan itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. luar biasa...akhirnya ada yang sepaham juga...makasi mas...maaf jika tulisan saya kurang mendalam, tetapi setidaknya begitulah yang saya rasakan. Saya tunggu diskusinya...:D

      Delete